Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 22 Oktober 2010

Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa (Ghibah/Menggunjing)


oleh : Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid

Dalam banyak pertemuan di majlis, seringkali yang dijadikan hidangannya adalah menggunjing umat Islam. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hal tersebut, dan menyeru agar segenap hamba menjauhinya. Allah menggambarkan dan mengidentikkan ghibah dengan sesuatu yang amat kotor dan menjijikkan. Allah berfirman :

“Artinya : Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya”. (Al-Hujurat: 12)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan makna ghibah (menggunjing) dalam sabdanya :

“Artinya : Tahukah kalian apakah ghibah itu ? “Mereka menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Beliau bersabda :”Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Ditanyakan : “Bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku ? “Beliau menjawab : “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya”. (Hadits Riwayat Muslim, 4/2001)

Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.

Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya”. (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)

Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya.

“Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya”. (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami’. 6238)

Adab – adab Berdoa

Adab-Adab Berdoa

Allah Ta’ala berfirman:

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيًّا

“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

(Q“Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)

Dari Aisyah -radhiallahu ‘anha- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

“Rasulullah -shallallahu wa’alaihi wa sallam- menyukai doa-doa yang singkat tapi padat maknanya, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Daud no. 1482 dan An-Nawawi berkata dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 431, “Sanadnya baik.”)

Dari Jabir bin Abdillah  dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللَّهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ

“Janganlah kalian mendoakan keburukan pada diri kalian, jangan mendoakan keburukan pada anak-anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan pada harta-harta kalian. Jangan sampai doa kalian bertepatan dengan saat dikabulkannya doa dari Allah lalu Dia akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Muslim no. 3009)

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ

“Jika salah seorang dari kalian berdoa maka janganlah sekali-kali dia berkata, “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau kehendaki.” Akan tetapi hendaklah dia memastikan apa yang dia minta dan hendaknya dia memperbesar pengharapannya, karena Allah -Azza wa Jalla- sama sekali tidak pernah menganggap besar sesuatu yang Dia berikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6339 dan Muslim no. 2678)

Penjelasan ringkas:

Dari dalil-dalil di atas kita bisa memetik beberapa perkara yang menjadi adab dalam berdoa:

1. Merendahkan suara ketika berdoa, tidak di dalam hati tapi juga tidak menjaharkannya. Karena hal itu bisa membantu dia untuk khusyu’ dan sekaligus menunjukkan ketundukan dan kerendahan dia di hadapan Allah Ta’ala.

2. Tadharru’ (merendah) kepada Allah ketika berdoa kepada-Nya.

Ad-Dhara’ah (asal kata tadharru’, pent.) bermakna menghinakan diri, tunduk, dan mengharap. Dikatakan: ضَرَعَ – يَضْرَعُ – ضَرَاعَةُ maknanya tunduk, menghinakan diri, dan merendahkan diri. Dia tadharru’ kepada Allah maksudnya dia berharap kepada-Nya. (Lihat Al-Mishbah Al-Munir hal. 361)

Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 42-42)

3. Menggunakan kalimat-kalimat yang jami’ dalam berdoa, yakni yang lafazhnya ringkas akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam lagi sangat luas. Karenanya sudah sepantasnya seseorang itu berdoa dengan doa-doa yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berdoa dengannya, karena beliaulah pemilik al-jawami’ al-kalim (kata-kata yang jami’).

4. Tidak mendoakan kejelekan untuk diri, keluarga, dan harta benda, karena mungkin saja Allah Ta’ala akan mengabulkannya.

5. Memastikan permintaannya dan tidak mengembalikannya kepada masyi`ah (kehendak) Allah, karena hal itu menunjukkan kurang perhatiannya dia kepada doanya dan dia tidak terlalu berharap kalau Allah akan mengabulkan doanya.

6. Betul-betul meminta (arab: al-ilhah) kepada Allah ketika berdoa.

Al-Ilhah maknanya mendatangi sesuatu dan komitmen berada di atasnya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- secara marfu’, “Tetaplah kalian berdoa dengan ‘Wahai Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah.” (HR. At-Tirmizi no. 3773-3775 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/172)

Maka hendaknya seorang hamba memperbanyak doa dan sering mengulang-ulanginya. Dia terus-menerus meminta kepada Allah dengan mengulang-ulangi penyebutan rububiah-Nya, uluhiah-Nya, serta nama-nama dan sifat-sifatNya. Itu merupakan sebab terbesar dikabulkannya doa, sebagaimana yang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- sebutkan, “Seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku,” sampai akhir hadits (HR. Muslim no. 1015) dan hadits ini menunjukkan adanya ilhah dalam berdoa.

Berikut beberapa adab lainnya yang tidak tersebut dalam semua dalil di atas:

1. Memulai dengan memuji Allah lalu bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan juga menutup doanya dengan ini.

Dari Fudhalah bin Ubaid -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendengar seorang lelaki berdoa di dalam shalatnya, dia tidak memuji Allah Ta’ala dan juga tidak bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Orang ini tergesa-gesa,” kemudian beliau memanggil orang itu lalu beliau berkata kepadanya atau kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR. Abu Daud: 2/77 no. 1481 dan At-Tirmizi: 5/516 no. 2477. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 1314 dan Shahih At-Tirmizi no. 2767.)

2. Senantiasa berdoa kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesulitan.

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang mau doanya dikabulkan oleh Allah ketika dia mendapatkan syada`id (kesusahan) dan al-kurab (kesulitan), maka hendaknya dia memperbanyak berdoa ketika dia lapang.” (HR. At-Tirmizi no. 3382 dan Al-Hakim: 1/544. Hadits ini juga dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmiz: 3/140, dan lihat juga Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 593)

3. Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan salah satu atau semua jenis-jenis tawassul yang disyariatkan, yaitu: Tawassul dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan saleh, dan tawassul dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Dan bukan di sini tempatnya membahas tentang tawassul.

4. Tidak memaksakan diri dalam memperindah lafazh (sajak) doa (arab: as-saja’).

Dari Ibnu Abbas beliau berkata, “Jauhilah as-saja’ dalam berdoa, karena sesungguhnya aku mendapati Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak melakukan kecuali itu -yakni: Mereka tidak melakukan kecuali menjauhi hal itu-.” (HR. Al-Bukhari no. 6337)

5. Mengulangi doa sebanyak tiga kali.

Dalil dalam masalah ini cukup banyak, di antaranya adalah ucapan Ibnu Mas’ud bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengangkat kepalanya kemudian berdoa, “Ya Allah binasakanlah Quraisy,” sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari no. 240 dan Muslim no. 1794)

6. Menghadap ke arah kiblat.

Dari Badr bin Zaid dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah keluar ke lapangan ini untuk meminta hujan, maka beliau berdoa dan shalat istisqa`, kemudian beliau menghadap ke kiblat dan membalik kain yang beliau pakai.” (HR. Al-Bukhari -dan ini adalah lafazhnya- no. 6343)

7. Mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Dari Salman -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian -Tabaraka wa Ta’ala- Maha Malu lagi Maha Pemurah kepada hamba-Nya, Dia malu kepada hamba-Nya tatkala dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lantas Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong.” (HR. Abu Daud no. 1488, At-Tirmizi: 5/ 557, dan selain keduanya. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/179)

8. Berwudhu sebelum berdoa, jika memungkinkan.

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari  bawa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- meminta air lalu berwudhu kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa, “Ya Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir.” (HR. Al-Bukhari: 5/101 dan Muslim: 4/1943. Lihat Al-Fath: 8/42,)

9. Menangis ketika berdoa karena takut kepada Allah Ta’ala.

10. Jika dia mendoakan orang lain maka hendaknya dia mulai dengan mendoakan dirinya sendiri.

Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi: 5/463) Hanya saja juga telah shahih riwayat bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- tidak memulai dengan diri beliau sendiri, seperti pada doa beliau untuk Anas, Ibnu Abbas, dan ibunya Ismail -radhiallahu anhum-. (Lihat: Syarh Shahih Muslim: 15/144, Fath Al-Bari: 1/218, dan Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmizi: 9/328)

11. Dan tentu saja dia tidak meminta kecuali hanya kepada Allah semata.

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Saya pernah berada di belakang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu beliau bersabda, “Wahai anak kecil, sesungguhnya saya akan mengajarkan kepadamu beberapa ucapan: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati Dia berada di depanmu. Jika kamu meminta maka mintalah hanya kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan hanya kepada Allah.” (HR. At-Tirmizi: 4/667 dan Ahmad: 1/293. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 2/309)

Keutamaan Berjabat Tangan Ketika Bertemu


Oleh: Ustadz ‘Abdullah Taslim, MA. -hafizhahullah-
Dari al-Bara’ bin ‘Azib dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang Muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” [HR. Abu Dawud No.5212, at-Tirmidzi no. 2727, Ibnu Majah no.3703 dan Ahmad 4/289. Lihat Silsilah ash-Shahihah no.525]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan mushafahah (berjabat tangan) ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para Ulama[1], bahkan hukumnya adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan)[2].
Pengertian berjabat tangan dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[3]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih. Dan inilah arti berjabat tangan secara bahasa [4]. Oleh karena itu, bila dilakukan dengan dua tangan, ini adalah cara yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [5].
Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah [6]. Maka pendapat yang mengatakan berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu [7].
Karena berjabat tangan termasuk ibadah yang disyariatkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain dua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu adalah perbuatan yang menyimpang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebagian Ulama menilainya sebagai perbuatan bid’ah. Di antara para Ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-‘Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthubuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al Hanafi, al-Laknawi rahimahumullah dan lain-lain. [Liat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin hal.294-296]
Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu, maka ini dianjurkan karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu, bukan karena shalat. Hal ini disampaikan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/53)
Bagaimana hokum mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya? Ini diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para Ulama Salaf. Namun harus disertai beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Tidak menjadikan hal ini sebagai kebiasaan , karena para Sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih lagi, jika hal itu dilakukan dengan tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru (jelas ini tidak boleh, red)
2. Perbuatan itu tidak membuat sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar dihadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
3. Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana telah dipaparkan di atas [8]
Note:
[1] Lihat Fathul Bari 11/55 dan Syarh Shahih Muslim 17/101
[2] Lihat Faidhul Qadir 5/499
[3] Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/429 dan ‘Aunul Ma’bud 14/80
[4] Lihat Lisanul ‘Arab” 2/512
[5] Lihat kitab Silsilah ash-Shahihah 1/51-52
[6] Dalam Silsilah ash-Shahihah 1/48
[7] Ibid 1/52-53
[8] Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/302

Sumber: Disalin ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 12/Thn XIII/Rabi’ul Awwal 1431H/Maret 2010M Rubrik Baituna Hal.8

Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah – Moslem Weblog